Semenjak memasuki umur 20-an ke
atas, saya menyadari jika perasaan dan masalah yang dihadapi dalam hidup akan semakin
kompleks. Masalah yang datang tidak hanya berupa hubungan asmara saja. Melainkan
karir, kehidupan, dan permasalahan-permasalahan hidup lainnya.
Tujuh bulan menjalani usia dua
puluh empat tahun, tidak terlalu ada masalah yang pelik. Rata-rata hanya
berputar di masalah “Kapan”, yang
semakin lama saya semakin gambling
sekali untuk menjawabnya HAHAHA. Sempat saya bahas di postingan pembuka series #CatatanDuaEmpat , karena pertanyaan
“Kapan” ini bagi saya lumayan membuat nganuh.
Ehe.
Justru itulah ternyata yang
menjadi masalahnya. Saking wolesnya
saya menjalani hidup, ada satu waktu dimana hidup saya benar-benar kosong. Menjalani hidup hanya sebatas mengikuti
arus, tidak ada gregetnya. Benar-benar merasa hidup segan mati tak mau, karena
merasa diri ini nggak berguna sama sekali.
Akibatnya, saya melakukan salah
satu hal yang saya hindari sebelum-sebelumnya yaitu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Mulai minder dengan
segala pencapaian-pencapaian yang orang lain capai. Krisis kepercayaan diri, rasa
cemas yang berlebihan, overthinking,
hilang arah dan tujuan hidup menjadi makanan selama beberapa minggu terakhir
ini.
Efek dari ini semua adalah, saya menjadi cukup tertutup. Lebih
memilih untuk menghabiskan waktu di rumah daripada kumpul nongkrong bersama
teman-teman (selain alasan bokek, sih.
HAHAH). Susah dihubungi kalau bukan benar-benar teman yang dekat dengan
saya. Me-mute story beberapa teman,
yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Yap,
karena se-minder itu.
Sempat saya tidak percaya jika diri
saya mengalami quarter life crisis,
karena saya merasa hidup baik-baik saja selama ini. Tapi ternyata, perasaan “merasa” itu ternyata membunuh saya. Quarter life crisis sungguh nyata
adanya. Dan tentunya, setiap orang
mengalami krisis yang berbeda-beda.
Beberapa hari yang lalu, sempat
saya bertemu dengan satu teman saya yang memberikan insight-nya atas keresahan yang saya alami belakangan ini. Dia
berkata,
“Sekali-kali, bikin tantangan
pada dirimu sendiri. Hidupmu tuh kalau tak lihat lihat kayak nggak ada gregetnya sama
sekali. Ya buat tantangan kecil-kecilan aja, satu bulan ini targetmu harus ngapain.
Biar kamunya semangat buat ngejalani hidup, tapi nggak usah ngoyo-ngoyo amat.”
Seketika saya langsung tersadar.
Memang benar sih, dalam beberapa tahun terakhir ini saya tidak banyak mengatur target
harus begini harus begitu (karena sedikit trauma HAHA). Eh, jatuhnya malah menjadi bumerang bagi saya pribadi. Mana saya
anaknya gampang bosan, pula. Heuheu.
Kejadian ini membuat saya harus
menata diri saya kembali. Belajar
mengenali diri sendiri kembali, evaluasi, membuat skala prioritas (lagi), mulai kembali
set target dan tujuan yang jelas agar
hidup tidak hilang arah lagi. Heu. Semangat.
-------------------------------------------------------------------------
Menghadapi quarter life crisis di
umur-umur menjelang dua puluh lima memanglah sebuah tantangan untuk diri
sendiri. Setiap orang memiliki masalah
dan krisis hidupnya sendiri-sendiri, yang tentu saja tidak bisa dibandingkan
satu sama lain.
Menjadi sebuah pengingat untuk diri
sendiri, bahwa hidup bukan ajang
kompetensi. Bukan ajang saling membandingkan antara satu dengan yang lain. Hidup adalah sebuah perjalanan, yang
selalu ada pasang surutnya. Ada waktunya untuk lari, ada waktunya istirahat,
ada waktunya pula untuk berjalan santai.
Its okay not to be okay.
Tidak apa-apa jika bersedih. Tidak apa untuk mengeluh. Ketika quarter life crisis ini melanda saya,
tak satu dua kali saya menangis karena merasa hidup saya useless sekali. Tak sekali dua kali saya sambat ini itu. Tidak apa.
Wajar.
Pelan-pelan saja. Berproses. Besok
mungkin akan sampai pada tujuan.
Yok, semangat untuk bangkit lagi, yok!
Peluk jauh,
Andhira A. Mudzalifa